SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Edit Content
aksaranesia

Tulisan Untuk Indonesia

Temukan Kami di Sosial Media

©2023. Aksaranesia Group Indonesia. All Rights Reserved.

Industri Smelter Mulai Gunakan Energi Terbarukan, Targetkan 70% Pemanfaatan EBT di 2030

Industri Smelter Mulai Gunakan Energi Terbarukan, Targetkan 70% Pemanfaatan EBT di 2030. (Aksaranesia)

Bagikan

Jakarta, Aksaranesia.com – Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berupaya mempercepat transisi penggunaan Energi Baru Terbarukan (EBT) dalam sektor industri, terutama di industri pemurnian mineral (smelter). Langkah ini merupakan bagian dari target ambisius Indonesia untuk mencapai Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2060 atau lebih cepat.

Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia, mengungkapkan bahwa paradigma industri global telah bergeser menuju penerapan energi yang lebih ramah lingkungan. “Sekarang kita sudah mulai insaf bertahap. Dahulu kita fokus mencari keuntungan cepat tanpa memperhatikan lingkungan, namun kini dunia sudah berubah,” ujarnya saat berbicara di Kumparan Green Initiative Conference, Jakarta, pada 25 September 2024.

Sebagai upaya mendukung transisi energi, pemerintah berencana memberlakukan regulasi untuk secara bertahap menggantikan penggunaan batu bara sebagai sumber listrik di smelter dengan EBT. Salah satu langkah konkret telah dimulai di Weda Bay, Maluku Utara, yang kini memiliki kapasitas listrik sekitar 8-10 gigawatt. Mulai tahun 2025, smelter Weda Bay akan beralih ke Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) yang dibangun di lahan bekas tambang.

Bahlil menargetkan pemanfaatan EBT di Weda Bay dapat mencapai 50% dalam lima tahun mendatang, dan hingga 70% pada tahun 2030. Ia juga menyatakan bahwa smelter yang hanya menghasilkan Nickel Iron Pig (NPI) harus segera menggunakan EBT atau setidaknya beralih ke gas bumi.

Walaupun investasi energi terbarukan diakui lebih mahal, Bahlil menegaskan bahwa harga produk yang dihasilkan dengan energi bersih justru lebih kompetitif. “Capex untuk power plant EBT memang tinggi, tetapi harga produk yang dihasilkan lebih mahal dibandingkan produk berbasis energi fosil. Secara ekonomi, ini tidak masalah,” tutupnya.

TERBARU

Industri Smelter Mulai Gunakan Energi Terbarukan, Targetkan 70% Pemanfaatan EBT di 2030

Industri Smelter Mulai Gunakan Energi Terbarukan, Targetkan 70% Pemanfaatan EBT di 2030. (Aksaranesia)

Bagikan

Jakarta, Aksaranesia.com – Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berupaya mempercepat transisi penggunaan Energi Baru Terbarukan (EBT) dalam sektor industri, terutama di industri pemurnian mineral (smelter). Langkah ini merupakan bagian dari target ambisius Indonesia untuk mencapai Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2060 atau lebih cepat.

Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia, mengungkapkan bahwa paradigma industri global telah bergeser menuju penerapan energi yang lebih ramah lingkungan. “Sekarang kita sudah mulai insaf bertahap. Dahulu kita fokus mencari keuntungan cepat tanpa memperhatikan lingkungan, namun kini dunia sudah berubah,” ujarnya saat berbicara di Kumparan Green Initiative Conference, Jakarta, pada 25 September 2024.

Sebagai upaya mendukung transisi energi, pemerintah berencana memberlakukan regulasi untuk secara bertahap menggantikan penggunaan batu bara sebagai sumber listrik di smelter dengan EBT. Salah satu langkah konkret telah dimulai di Weda Bay, Maluku Utara, yang kini memiliki kapasitas listrik sekitar 8-10 gigawatt. Mulai tahun 2025, smelter Weda Bay akan beralih ke Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) yang dibangun di lahan bekas tambang.

Bahlil menargetkan pemanfaatan EBT di Weda Bay dapat mencapai 50% dalam lima tahun mendatang, dan hingga 70% pada tahun 2030. Ia juga menyatakan bahwa smelter yang hanya menghasilkan Nickel Iron Pig (NPI) harus segera menggunakan EBT atau setidaknya beralih ke gas bumi.

Walaupun investasi energi terbarukan diakui lebih mahal, Bahlil menegaskan bahwa harga produk yang dihasilkan dengan energi bersih justru lebih kompetitif. “Capex untuk power plant EBT memang tinggi, tetapi harga produk yang dihasilkan lebih mahal dibandingkan produk berbasis energi fosil. Secara ekonomi, ini tidak masalah,” tutupnya.

(Aksara)

KONTEN IKLAN

REKOMENDASI

EDITOR PICK's

KONTEN IKLAN

Scroll to Top